Selamat datang di Dunia!

Dunia adalah stasiun, kalau kita adalah kereta.

Satu kereta datang, dan yang lain berangkat.

Kereta, kawanan roda, rel yang baik hati, rintikan fluida, asap dari cerobong...

Sungguh deh, hidup adalah stasiun beserta semua yang dibawa hujan menjatuhinya.

Rabu, 01 Juni 2011

Labirin Pikir Sjahrir

Labirin Pikir Sjahrir

Dunia dan kalian semua mungkin mengenal Sang Dwitunggal: Soekarno dan Bung Hatta. Namun siapa tahu kalau ternyata paketnya bukan hanya Dwitunggal, tapi ternyata Tritunggal (Tiga Serangkai sih yang benar, bukan Tritunggal)! Yang satu lagi memang tidak sepopuler atau sebesar rekan Tiga Serangkai-nya (dan memang nggak selalu yang penting itu populer), sesuai dengan namanya, Bung Kecil. Yap! Dia adalah : SUTAN SJAHRIR!! YAAAAAYY!!

Sutan Sjahrir diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada hari wafatnya (Keputusan Presiden No 76). Sebagai pahlawan nasional, beliau tidak begitu dikenal (hayo ngaku, siapa yang langsung menyebutkan nama Sutan Sjahrir kalau ditanya soal pahlawan nasional? Nggak ada? Sama!). Padahal, jasa dan pemikirannya sangat berarti penting bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di era Revolusi. Visi dan hatinya membuatnya berbeda dari bapak bangsa Indonesia yang lain.
Pada masa Jepang, saat Soekarno dan Hatta memilih untuk “bersahabat” dengan Jepang, Sutan Sjahrir yang seorang anti-fasisme dan beberapa rekannya bergerak di bawah tanah untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Jepang memang menjanjikan untuk memberikan kemerdekaan dengan membuat BPUPKI dan PPKI. Namun menurut Sjahrir Jepang tidak akan memberikan kemerdekaan untuk Indonesia, apalagi karena ia merasa kalau Jepang dan Jerman tidak mungkin memenangkan perang melawan Sekutu.
Untuk itu, Sjahrir rajin mendengarkan siaran stasiun radio luar negeri yang menyediakan berita tentang perkembangan Perang Dunia II (secara sembunyi-sembunyi tentunya, karena saat itu siaran radio luar negeri dilarang oleh Jepang). Pada 15 Agustus 1945, Sjahrir mengetahui bahwa Jepang sudah menyerah kalah pada Sekutu. Berita gembira ini diberitahukannya pada Soekarno dan Hatta dan mendesak mereka berdua agar segera memanfaatkan kesempatan itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia (tahu kan Peristiwa Rengasdengklok? Itu ya kerjaannya Sjahrir and the gank..). Dan setelah proses yang sangat panjang dan melelahkan, akhirnya bangsa Indonesia yang merdeka pun lahirlah!
Berbeda dengan Soekarno yang menghadapi segalanya dengan frontal dan membara, Sjahrir memilih untuk stay cool. Cara ini terkenal dengan sebutan “Politik Diplomasi” atau “Politik Perdamaian”. Pada April 1946, Sjahrir dan beberapa wakil Indonesia lainya pergi ke Hoge Veluwe untuk berunding mengenai pengakuan Republik Indoensia. Delagasi Indonesia menginginkan pengakuan atas Republik Indonesia yang berdaulat. Namun delagasi Belanda menolak. Malahan Belanda hanya mau mengakui pemerintahan de facto Republik Indonesia sebagai negara federal di bawah Belanda dan hanya terdiri atas wilayah Jawa dan Madura saja. Sjahrir menolak syarat Belanda mentah-mentah, dan pulang bersama teman-temannya (Ehm! Ehm! Siapa di jaman sekarang bisa seberani Sjahrir? *nothing’s personal ya Pak Pres dan Pak Marty!)
Itu belum apa-apa. Berikutnya Sjahrir akan menunjukkan kualitasnya yang sebenarnya dalam Sidang PBB**.
Dengan kualitas yang luar biasa, Sjahrir bisa disebut sebagai diplomat terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Beliau berani memberikan argumen yang kuat serta mempunyai kemampuan lobi yang efektif. Ditambah dengan wawasannya yang luas, argumen-argumen yang disampaikannya selalu logis untuk diterima. Selain kemampuan berdiplomasi, Sjahrir juga berperan sebagai seorang ahli siasat yang baik bagi Indonesia.
Namun tidak selamanya diplomasi Sjahrir menuai pujian Sjahrir dihina, dituduh sebagai pengkhianat yang menjual tanah airnya sendiri lantaran terkesan “tidak mampu berbuat apa-apa” sebagai wakil Indonesia di Perjanjian Linggarjati”. Sebelum Perjanjian Linggarjati, wilayah Indonesia hanya diakui atas Pulau Jawa dan Madura saja. Setelah perjanjian tersebut diberlakukan, Belanda hanya mengakui wilayah Indonesia atas Pulau Jawa, Madura, dan Sumatra. Ditambah lagi, perjanjian itu membuat Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat di bawah komando Ratu Belanda. Tidak menjadi lebih baik bagi Indonesia.

Namun ternyata Belanda yang belum puas dengan hasil perjanjian ini masih mencoba untuk menguasai Indonesia. Pecahlah Agresi Militer I, di mana Belanda menyerang Indonesia. Karena agresinya, Belanda dikecam oleh negara-negara Barat lainnya. PBB pun turun tangan mengurusi sengketa Belanda-Indonesia ini. *(Nah ini dia!) Sjahrir sebagai perwakilan Indonesia berangkat menuju Sidang Dewan Keamanan PBB, akan melawan Eelco van Kleffens, wakil Belanda untuk PBB, seorang diplomat ulung yang berpengalaman di kancah internasional.
Sjahrir berpidato tentang Indonesia sebagai bangsa yang bertahun-tahun dieksploitasi oleh kaum kolonial dan sekarang sedang berusaha untuk mencapai kedaulatannya. Dengan piawai, ia mematahkan satu per satu argumen yang disampaikan van Kleffens. Argumen dan pidato Sjahrir berhasil membuat Indonesia diakui di mata internasional sebagai negara merdeka. PBB menghentikan usaha Belanda dalam mengagresi Indonesia.
Argumentasi dan pidato Sjahrir terbukti mampu membuka pandangan dunia terhadap Indonesia. Semua orang terpukau tidak percaya, ketika Sjahrir, diplomat baru dari negara yang juga baru merdeka, menang telak atas van Kleffens, diplomat jagoan Belanda yang sudah berpengalaman di kancah internasional. Kemenangannya di Sidang Umum PBB tersebut membuatnya dijuluki “Sjahrir The Smiling Diplomat” (Wuidih! keren kan titelnya? :D).
Mengapa Sjahrir, yang sangat idealis dan kukuh terhadap kedaulatan Indonesia, mau menerima hasil Perjanjian Linggarjati? Mengapa Sjahrir memilih cara diplomasi daripada cara frontal dan radikal seperti yang dilakukan Soekarno?
Sjahrir menganut ideologi nasionalis-sosialisme. Tidak seperti komunisme, sosialisme lebih menekankan kesejahteraan bersama melalui proses yang bertahap. Karena itu, sosialisme lebih bersifat anti perang. Hal ini memang bertentangan dengan Soekarno, cenderung komunis, yang bergaris keras dan tidak ragu mengeluarkan pernyataan maupun serangan yang mengancam.
Sjahrir menyadari bahwa Indonesia pada kondisi seperti itu tidak mungkin melawan Belanda yang secara militer maupun ekonomi lebih maju daripada Indonesia(dan sedihnya, sampai sekarang pun begitu). Menurutnya, satu-satunya cara untuk memenangkan kedaulatan Indonesia yang sejati adalah dengan perang diplomasi. Ia dan Soekarno sama-sama menyadari hal itu. Karena itu Indonesia mengubah sistem pemerintahan presidensil menjadi yang lebih demokratis, parlementer, supaya lebih mudah berdiplomasi dengan negara Barat dengan Sjahrir sebagai ujung tombaknya (saat itu negara Barat menghindari Soekarno, bahkan menyebutnya sebagai persona-non-grata -orang yang tidak diinginkan).
Saat itu baru saja diadakan perjanjian multilateral yang menghasil “Atlantic Charter”, di mana tatanan dunia berubah seusai Perang Dunia II. Perang dan penjajahan menjadi “haram”. Pembelaan terhadap hak asasi menjadi marak, dan negara besar dituntut untuk memperhatikan negara kecil. Perdamaian di seluruh dunia sedang diperjuangkan. Karena itu, diplomasi menjadi senjata wajib. Sebagai kaum liberalis, negara-negara Barat menjadi lebih mudah “didekati” berkat Atlantic Charter tersebut. Sjahrir, yang sering mendengar radio secara rahasia serta membaca surat kabar, dengan lihai memanfaatkan hal ini.
Namun Sjahrir berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi ia harus memperjuangkan pengakuan kedaulatan negaranya, sementara di sisi lain jika ia tidak menerima perjanjian tersebut, Belanda akan dengan mudah menghancurkan Indonesia. Ditambah lagi negara netral yang dipilih untuk menengahi perjanjian tersebut adalah Amerika dan Inggris (yang notabene adalah negara Sekutu yang dekat dengann Perancis-Belanda, dan sekaligus sebagai sesama negara Barat): sama sekali tidak netral.
Sjahrir menyadari ketidakuntungannya pada perjanjian tersebut. Memenangkan perang diplomasi dengan “sekali hajar” tidaklah bijaksana. Maka ia menerima Perjanjian Linggarjati, dengan maksud menjadikannya sebagai batu loncatan, tahap awal sebelum ia membuat perjanjian lagi yang memungkinkan kembalinya wilayah Indonesia secara perlahan-lahan menjadi utuh dan kedaulatannya diakui di dunia.
Sayang, tak semua orang cukup bijaksana untuk dapat memahami maksud dan pikiran Sjahrir. Rakyat keburu tenggelam dalam kemarahan karena Perjanjian Linggarjati tidak memberikan perbaikan apa pun bagi Indonesia. Sutan Sjahrir diculik kemudian, dan demikian berakhirlah kabinetnya yang ketiga.
Peristiwa penculikan itu membuat Presiden Soekarno marah dan memerintahkan pasukan untuk menangkap pelakunya. Setelah Sjahrir berhasil dibebaskan, ia dipilih Soekarno sebagai penasihat presiden, sekaligus sebagai Duta Besar Keliling (Ambassador-at-large) Republik Indonesia (impian semua anak HI, betul??).
Keadaan setelah Sidang Umum PBB mengenai Indonesia kemudian membaik. Belanda mulai diancam setelah melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melakukan Agresi Militer. Indonesia semakin aktif dalam aktivitas dunia, salah satunya (atas usulan Sjahrir) dengan memberikan bantuan beras pada India. Dukungan dan simpati makin banyak mengalir bagi Indonesia. Semua itu tak lepas dari peran Sjahrir dan labirin pikirnya.
Dan apakah balasan yang ia dapatkan atas semua usahanya?
Seiring berjalannya waktu, hubungan Soekarno dan Sjahrir memburuk karena berbagai hal. Pada tahun 1962 muncul desas-desus bahwa Sjahrir akan menggulingkan Soekarno dari kursi kepresidenannya (saat itu Soekarno telah mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup). Agaknya Soekarno terjebak dalam paranoid kekuasaannya sendiri dan segera memerintahkan agar Sjahrir ditangkap (siapapun kalau sudah duduk lupa berdiri!).
Sjahrir dipenjara dan tidak pernah diadili. Karena kesepiannya, beliau jatuh sakit (stroke) dan diizinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss. Rekannya, Sugondo Joyopuspito, mengantarnya ke bandara. Mereka berdua saling berangkulan dan menangis.

            Tanggal 9 April 1966, abdi bangsa yang setia ini wafat dalam usia 57 tahun. Jasanya yang besar dalam membela kedaulatan dan kehormatan bangsa seolah tidak pernah ada, ketika ia wafat tanpa dihargai dengan status tahanan politik.
              TAHANAN POLITIK, Saudara-saudara!
Benar-benar nggak adil banget ya? Ironis...

Ngomong-ngomong sudah ada yang baca buku biografinya Sutan Sjahrir karya Rosihan Anwar? Kalau ada, PINJEM DONG!! Kemarin ini saya mau beli di Gramed, tapi nggak boleh sama ortu saya. “Masak untuk buku kayak gini aja harganya 40ribu?!”, itu kata mereka (HIKS! Hancur hatiku! Orang dewasa jaman sekarang!). Semoga Sutan Sjahrir nggak dengar deh...

Komen plis! (Buat ngisi-ngisi blog gue yang sepi ini... Hiks!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar